Daftar Blog Saya


POTI WOLO DAN KIMPUR TILU

4

Lanur mengerjakan ladang bersama-sama dengan warga kampung. Ladang mereka terletak ditepi hutan, dan yang paling dekat dengan hutan adalah ladang milik Lanur. Mereka mengerjakan ladang itu kurang lebih 2 bulan. Bulan ketiga mereka menanami ladang tersebut dengan jagung dan padi. Benih-benih itu ludes dimakan kera-kera yang tinggal di hutan sekitar kawasan hutan. Lanur dan isterinya menanam kembali menggantikan yang telah dimakan kera. Tetapi setiap kali digantikan selalu dimakan kera. Lanur dan isterinya mengeluh, persediaan benih telah habis. Mereka hendak meminta benih kepada orang lain, tetapi niat mereka diurungkan, karena mereka tahu akan habis dimakan kera.

Suatu hari Timung Té’é pergi ke hutan mencari sayur-sayuran hutan, sayur-sayuran cukup banyak, tetapi tumbuhnya sangat jarang diantara pohon-pohon besar. Kera-kera berayun pada cabang pohon-pohon besar itu. Sampailah Timung Té’é pada sebuah pohon yang dihuni kera paling besar, gemuk, tambun dan tengkuknya padat berisi. Kera seperti itu orang Manggarai menyebutnya Kodé Seket. Sayur-sayuran hutan di sekitar pohon itu sangat banyak. Kodé Seket memperhatikan Timung Té’é yang sedang memetik sayur, ia sangat mengagumi kecantikan wanita itu. Kodé Seket itu terbius oleh kecantikan Timung Té’é , sehingga timbul niatnya untuk menggoda dan berbuat jahat terhadap Timung Té’é . Tetapi ia belum berani melakukan hal itu karena segan akan keanggunan dan kewibawaan Timung Té’é. Kodé Seket itu terbuai dalam lamunan membayangkan kebahagiaan saat bersanding dengan Timung Té’é di pelaminan. Lamunan Kodé Seket itu menerawang ke alam mimpi yang indah dan romantis, sehingga tak disadarinya ia berteriak, “matak iné, hombés molasn” (aduhai, sungguh cantiknya). Timung Té’é tidak menghiraukan pujian Kodé Seket itu, ia mengira hanya main-main. Hari-hari selanjutnya terjadi hal yang sama, sehingga kesabaran Timung Té’é menjadi hilang. Benih jagung dan padi telah mereka habiskan, muncul ulah godaan terhadap dirinya, pujian bernada cinta.
Timung Té’é selalu penasaran karena ulah kode seket itu. Timung Té’é tak bisa sabar terus-menerus, karena itu ia melaporkan ulah Kodé Seket itu kepada suaminya. Lanur sangat marah mendengar penyampaian isterinya, tetapi Timung Té’é dapat menenangkannya. Timung Té’é berkata, “bapak tak usah marah, karena tidak akan menyelesaikan persoalan. Kita mencari akal untuk memusnahkan Kodé Seket itu dan kawan-kawannya. Kera-kera itu keterlaluan, benih padi dan jagung kita telah ludes, lalu Kodé Seket menggoda dan akan menikahi aku bila bapak telah meninggal. Kodé Seket itu mengira bahwa aku ini perempuan yang tidak tahu diri dan tidak tahu menghormati serta menghargai suamiku”. Lanur menerima saran isterinya, lalu mengusulkan untuk memasang jerat dan ranjau pada batas hutan dan ladang mereka. Timung Té’é berkeberatan terhadap usul Lanur lalu katanya, “bapak, cara itu kurang tepat karena keterbatasan waktu dan bahan-bahan yang diperlukan terlalu banyak. Aku mengusulkan kita mengulangi cara yang kita lakukan terhadap Kodé Lama. Kita baringkan sebatang kayu besar setinggi bapak, dibungkus kain kafan. Bapak dan tiga ekor anjing bersembunyi dalam wadah di loteng. Bapak dan tiga ekor anjing itu turun secepatnya dari loteng apabila lubang-lubang lantai, dinding telah ditutup serta pintu diiikat kuat-kuat. Seorang pemuda kampung kita undang semalam sebelumnya, kita ceritakan rencana kita dan diberi petunjuk bagaimana cara mengabarkan kematian bapak di hutan di kediaman kode seket itu”. Lanur berpikir sejenak, lalu katanya, “usulmu itu baik, cara itulah yang kita gunakan”.
Keesokkan paginya sebatang kayu dibungkus kain kafan seperti membungkus mayat. Petugas yang bertugas mengabarkan kematian Lanur berangkat ke hutan.
Orang itu masuk ke setiap kelompok tempat tinggal kera-kera itu dan mengabarkan tentang kematian Lanur. Demikian pula dilakukan di tempat tinggal si Kodé Seket. Mendengar kabar itu, Kodé Seket menyuruh beberapa kera untuk memanggil pemimpin-pemimpin kelompok untuk segera menghadap.
Kera-kera itu bergegas pergi memanggil para pemimpin kelompok itu. Beberapa saat kemudian pemimpin kelompok datang menghadap. Setelah semuanya hadir, Kodé Seket memberitahukan tentang kematian Lanur serta menyuruh mereka pergi melayat jenazah Lanur. Mereka berkumpul pada satu tempat menunggu Kodé Seket dan rombonganya tiba, lalu bersama-sama ke podok Lanur. Pemimpin-pemimpin kelompok pulang ke tempat masing-masing, setiap pemimpin memanggil seluruh rakyat mereka. Kepada mereka diberitahukan kematian Lanur dan perintyah kode seket untuk ikut melayati jenazah Lanur, tak boleh ada yang berkeberatan. Kodé Seket dan rombongannya tiba, berhenti sejenak lalu mereka berangkat ke pondok Lanur, dan meyuruh mereka supaya seluruh penghuni kelompok pergi melayati jenazah Lanur. Mereka berkumpul pada satu tempat menanti Kodé Seket dan rombongannya tiba, la bersama-sama ke pondok Lanur. Pemimmpin-pemimpin kelompok pulang ke tempat masing-masing, setiap pemimpin memanggil seluruh rakyat mereka. Kepada mereka diberitahukan tentang kematian Lanur dan perintah Kodé Seket untuk ikut melayati jenazah Lanur, tak ada yang berkeberatan. Kera-kera itu telah berkumpul pada tempat yang telah ditentukan. Kodé Seket dan rombongannya tiba, berhenti sejenak lalu mereka berangkat ke pondok Lanur.
Pemuda yang ditugaskan menyampaikan berita kematian telah kembali. Ia bersama Lanur dan tiga ekor anjing bersembunyi di loteng. Selang beberapa jam rombongan kera-kera itu datang. Kodé Seket berjalan paling depan, sebentar-sebentar tersenyum, karena ia merasa girang mendapatkan Timung Té’é sebagai isteri, apabila Lanur telah dikuburkan. Ia membayangkan dan menghayalkan ucapan ayu bahagia para undangan, sahabat, kenalan, dan kaum kerabat pada saat keduannya besanding di pelaminan. Senyum kebahagian Kodé Seket itu, dalam bahasa daerah Manggarai dikenal dengan istilah sumir samir atau sumi samir, menandakan suatu kepastian tetapi ia tak pernah menduga bahwa sebentar lagi maut akan merenggut nyawanya dan seluruh rakyatnya.
Demikian gembiranya Kodé Seket saat itu, sehingga tak sempat memikirkan hal-hal yang mengancam keselamatan, baik ia sendiri maupun seluruh rakyatnya. Timung Té’é meratapi jenazah suaminya sambil mengucapkan kata-kata yang menyayati para pelayat. Semakin rombongan kera-kera dekat ke pondok, tangis Timung Té’é semakin memilukan hati oarng yang mendengarnya. Rombongan tiba di depan pintu pondok, mereka melihat jenazah yang dibungkus kain kafan.
KodéSeket masuk ke pondok dan diikuti para pemimpin kelompok dan kera-kera yang lain. Diantara kera-kera itu ada seekor kera betina yang sedang hamil. Kodé Seket duduk berdampingan dengan Timung Té’é, para pemimpin kelompok di sisi jenazah yang berlawanan, kera-kera lain diseluruh ruangan. Ratapan Timung Té’é sambil mengucapkan kata-kata, antara lain, “aduh, nasibku malang tak ada yang menyamai pribadi Lanur, segala kebutuhan keluarga selalu terpenuhi. Kepada siapa lagi tempat aku bergantung, tak ada lagi yang akan mencari kayu api, makan dan kebtuhan lain-lain”. Kodé Seket berkata menghibur Timung Té’é, “jangan kuatir, ada aku, segala kebutuhan akan kupenuhi”. Ia memerintahkan rakyatnya mengambil kayu api, makan dan sayur-sayuran. Beberapa saat kemudian mereka kembali membawa kayu api, jagung, pisang, dan sayur-sayuran.
Timung Té’é meratapi lagi jenazah itu, sehingga Kode Seket berkata, “apa lagi yang engkau perlukan Timung Té’é , padahal kayu api, makanan, dan sayur-sayuran telah ada. “Timung Té’é tidak menghiraukan pertanyaan Kodé Seket itu. Ia terus meratapi jenazah sambil mengucapkan kata-kata, “tidak ada orang yang menutup lubang dinding, lantai dan mengikat pintu. “Kodé Seket menyuruh kera-kera itu menutup lubang-lubang dinding, lantai dan mengikat pintu kuat-kuat. Kera betina yang hamil tidak menutup lubang lantai di dekat ia duduk, karena ia mempunyai firasat, bahwa Timung Té’é memperdaya mereka.
Maut menimpa Kodé Seket dan rakyatnya tak dapat dihindari. Timung Té’é menangis kuat-kuat sambil mengucapkan, “lubang dinding, lantai telah di tutup dan pintu telah diikat kuat-kuat. “Lanur, si pemuda dan tiga ekor anjing turun tiba-tiba dari loteng. Anjing menggigit kera-kera itu, Lanur dan pemuda itu memukul dengan kayu kudung. Sementara kera-kera itu hiruk-pikuk, kera betina hamil keluar lewat lubang di dekatnya, lalu lari ke hutan. Kodé Seket dan kera-kera lainnya mati tak seekorpun yang luput.
Lanur dan pemuda itu membuka kain pembungkus kayu, membenahi segala sesuatu yang diperlukan, dan mereka mulai menguliti kera-kera itu.
Keluarga Lanur berpesta, dan tidak ada hal-hal yang perlu dirisaukan, sebab makanan, sayur-sayuran dan kayu api telah tersedia. Daging kera-kera dibuat dendeng selain mereka yang butuhkan saat itu. Setiap hari keluarga Lanur makan bagaikan suasana pesta.
Pada suatu hari poti wolo lewat di depan pondok Lanur. Ia tercengang melihat dendeng kera yang begitu banyak. Poti wolo itu tanyakan kepada Lanur bagaiman caranya ia membunuh kera-kera itu. Lanur menceritakan secara rinci cara yang mereka lakukan menangkap kera-kera itu. Poti wolo merasa tertarik iapun berniat melakukan hal yang sama seperti itu. Ia pamit dan bergegas kembali ke liangnya yang cukup ajuh dari pondok Lanur dan kawasan hutan yang dihuni kera-kera yang telah musnah itu. Tiba diliangnya, Poti Wolo menceriterakan kelimpahan daging kera di pondok Lanur kepada isterinya Kimpur Tilu.
Ia menceriterakan pula bagaimana caranya : “Lanur menangkap kera-kera itu?”. Ceritera Poti Wolo itu menarik perhatian istrenya Kimpur Tilu. Karena itu keduanya sepakat melakukan hal yang sama. Poti Wolo dan Kimpur Tilu membahas saat usaha mereka dilaksanakan. Besoknya Poti Wolo dibaringkan dan dibungkus seperti mayat. Semambu (kayu kudung) ditempatkan disampingnya, yang kelak digunakan memukul kera-kera itu. Kimpur Tilu pergi mengabarkan kematian Poti Wolo kepada pemimpin kera sekitar kawasan liang itu. Ia menyampaikan berita sedih itu sambil mengucurkan air mata. Pemimpin kera itu merasa sedih menerima berita itu dan kesedihan yang menimpa Kimpur Tilu. Ia memberitahu Kimpur Tilu, mereka akan pergi melayat jenazah Poti Wolo. Kimpur Tilu merasa bahagia sekali mendengar penyampaian pemimpin kera itu, tetapi perasaannya tak diungkapkan, dan ia tetap menunjukan roman muka diliputi suasana kedukaan. Kimpur Tilu kembali keliangnya, dan setelah agak jauh dari tempat pemimpin kera itu, rasa bahagianya timbul, sehingga ia telah memikirkan tempat menjemur dendeng kera itu apabila liangnya tak mampu menampung.
Tiba diliang ia memberitahu suaminya Poti Wolo sebentar lagi kera-kera datang. Ia duduk dipintu liang untuk melihat kedatangan rombongan kera itu. Tidak berapa lama kemudian muncullah rombongan kera, dan pemimpinnya berjalan paling depan. Kimpur Tilu bangkit, bergegas ketempat suaminya baring. Ia meratapi suaminya agar kera-kera itu mendengar dan meyakinkan mereka bahwa Poti Wolo itu benar-benar telah mati. Kera-kera itu semakin dekat pada liang Poti Wolo, ratapan Kimpur Tilu menjadi-jadi dan menyedihkan rombongan pelayat. Pemimpin kera masuk ke liang diikuti rakyatnya. Air liur Poti Wolo tak terbendung lagi ingin memakan daging kera. Sudah disepakati, aba-aba Poti Wolo untuk bangun serentak, apabila terdengar ratapan Kimpur Tilu sambil mengucapkan kata-kata pintu telah ditutup. Karena keinginan untuk memakan daging kera demikian hebatnya, maka Poti Wolo itu bangun sebelum Kimpur Tilu mengucapkan bahwa pintu telah ditutup. Kera-kera itu berhamburan keluar, lari meluputkan diri masing-masing. Tak seekorpun kera-kera itu yang tertangkap. Poti Wolo sungguh sial hari itu, sehingga niat mereka untuk berpesta pora memakan daging kera buyar. Kimpur Tilu sangata marah dan kecewa. Ia memarahi suaminya, “memang dasar laki-laki rakus, rasai sendiri. Melakukan sesuatu tanpa pertimbangan akal dengan sehat”.

4 komentar:

Anonim mengatakan...

mantap eww kraeng...shared ckoen eww

Unknown mengatakan...

mau e.....do ata tombo

Unknown mengatakan...

terima kasih,,langkah awal menlestarikan budaya,,,,respect "kuni agu kalo"

Unknown mengatakan...

hahaha mantap lestarikan budaya, dengan menceriterakan kembali cerita rakyat asli manggarai.

Posting Komentar