Daftar Blog Saya


WÉLA RUNU, EMPO RUA DAN WULU JO

0

Wéla runu adalah seorang gadis cilik yang cantik. Ia tinggal bersama kedua orang tuanya disebuah kampung. Kampung mereka kira-kira 5 km jaraknya dari hutan lebat. Pada suatu musim tanam, penduduk kampung itu membuka lahan ditepi hutan lebat. Kedua orang tua Wéla Runu juga mengerjakan kebun di lahan itu.

Sekitar enam bulan padi dan jagung berbuah. Burung gagak, pipit, kakak tua serta burung-burung yang lain setiap hari memakan padi dan jagung para pemilik ladang itu.
Ibu Wéla Runu setiap hari pergi ke kebun menghantarkan makanan untuk anaknya. Sementara Wéla Runu makan, ibunya jalan-jalan di kebun mengusir burung. Setelah Wéla Runu selesai makan, ibunya pulang ke rumah. Wéla Runu dan kawan-kawannya pulang ke kampung setelah burung-burung kembali kesarang. Kadang-kadang mereka kegelapan sejak dari kebun.
Beberapa bulan kemudian terjadilah suatu hal yang tidak terduga. Suatu hari Empo Rua datang ke pondok Wéla Runu, tentu saja Wéla Runu sangat takut. Empo Rua menenangkan Wéla Runu, katanya, “jangan takut cucuku, aku tak berbuat apa-apa denganmu. Siapa temanmu disini?” Wéla Runu menjawab dengan gemetar, “aku sendirian, nek”, Empo Rua berkata lagi, “ambillah empat potong teno (kayu senu), tanam pada empat sudut kebun agar padi dan jagung tidak dimakan burung-burung, babi hutan dan binatang lainnya”. Wéla Runu menuruti suruhan Empo Rua, lalu keempat potong kayu senu itu ditanam disudut kebun itu. Setelah selesai ditanam, Wéla Runu kembali ke pondok dan melaporkan kepada Empo Rua yang sedang menantikan di pondok.
Keesokkannya Wéla Runu kembali ke kebun, tetapi kali ini ia tidak terlalu bergegas, ia ingin membuktikan apa yang dikatakan oleh Empo Rua kemarin. Wéla Runu tiba di kebun setelah matahari agak tinggi. Ia menyaaksikan tak seekor burung dan binatang yang memakan padi dan jagungnya, lewat di kebunnya pun tidak. Wéla Runu menganguk-angguk, “benar kata nenek Empo Rua kemarin”. Ia berjalan di seputar kebunnya, tak ada bekas kerusakan tanaman untuk pagi itu. Wéla Runu kembali ke pondok, ia duduk di depan pondoknya, tetapi hingga tengah hari tak seekor burung pipit dan bintang lain yang datang ke kebunnya. Beberapa saat kemudian, ibunya datang menghantarkan makanan. Wéla Runu tidak menceritakan kejadian itu kepada ibunya, juga kepada ayahnya di rumah. Setelah itu ibunya pulang, sedangkan ia sendiri bersama-sama kawannya pulang sore agak gelap. Kira-kira pukul 07. 00 pagi keesokkan harinya Wéla Runu telah berada di kebunnya. Sesaat kemudian Empo Rua datang ke pondok Wéla Runu sambil berkata,”cucu, ini temanmu.” Wéla Runu menerima ayam jantan itu dan berkata, “terima kasih, nek.” Wéla Runu menambatkan ayam jantan itu di kolong pondoknya.
Empo Rua pamit kembali ke rumahnya. Ayam jantan itu berkokok satu kali, Wéla Runu melihat ke kolong, ia melihat seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan yang sebaya dengannya. Wéla Runu memanggil kedua anak itu masuk ke pondok. Kedua anak itu masuk ke pondok dengan sopan. Mereka bertiga akrab sekali seolah-olah kawan lama. Mereka terlibat dalam pembicaraan yang akrab dan penuh dengan suasana kekeluargaan. Tengh hari ibu Wéla Runu menghantar makanan, ia heran melihat kedua anak itu, diperhatikannya dengan teliti barangkali kawannya sekampung, tetapi tidak ada anak warga kampung yang serupa dengan kedua anak itu. Wéla Runu tahu keheranan ibunya, karena itu ia menjelaskan kepada ibunya perihal kedua anak itu. Lalu Wéla Runu mempersilahkan ibunya kembali ke kampung, alat-alat makan dibawanya sendiri sore. Wéla Runu mengajak kedua temannya itu ke rumah.
Kedua temannya berkata, “kak, kami hanya menghantar kakak sampai di depan kampung, lalu kami kembali ke pondok bersama ayam jantan ini, karena nenek Empo Rua menugaskan kami menjaga kebun”. Wéla Runu tidak memaksa kedua temannya itu agar mereka tidak mendapat siksaan dari nenek Empo Rua. Ketiganya berangkat ke kampung bersama ayam jantan itu. Sampai di depan kampung, kedua teman Wéla Runu itu kembali ke kebun bersama ayam jantan.
Panen jagung diseluruh ladang warga kampung, ada yang mengembirakan petani, ada pula yang kurang memuaskan, karena serangan Babi hutan , burung gagak serta binatang lainnya. Keluarga Wéla Runu berbeda dengan yang lain mereka mendapat panen jagung yang melimpah. Demikian pula panen padi keluarga Wéla Runu terlalu jauh perbedaannya dengan keluarga lain. Rumah mereka tak mampu menampung, sehingga dibuat sebuah gudang untuk menyimpan padi itu. Ayah Wéla Runu mengadakan pesta syukuran, karena penghasilan yang diperoleh memang patut disyukuri. Empo Rua juga diundang untuk menghadiri pesta tersebut. Pada malam pesta itu Empo Rua datang sekitar pukul sepuluh malam. Ia dipersilahkan duduk bersama tamu yang dihormati. Pesta itu meriah sekali dan tamu-tamu bersukaria hingga pagi, kecuali Empo Rua berpamit pada saat ayam berkokok yang ketiga kalinya. Sebelum ia berangkat ia memesan kepada ayah Wéla Runu agar Wéla Runu pergi ke pondok untuk menerima sesuatu hal yang perlu disampaikan. Tanpa curiga sedikitpun, Wéla Runu pergi ke kebun untuk menemui Empo Rua. Kedua teman Wéla Runu gembira sekali bertemu dengan dia di pondok. Mereka berbicara dan tertawa gembira sebelum Empo Rua datang. Wéla Runu menceritakan kepada mereka suasana pesta yang ramai, tamu-tamu yang hadir, dan persiapan makanan dan lauk yang memuaskan para tamu. Sementara mereka bertiga asyik bercerita Empo Rua muncul. Ia tertawa ria sehingga tidak menimbulkan kecurigaan pada ketiga anak itu. Setelah duduk beberapa saat Empo Rua berkata,”cu, mari kita ke rumah, ada yang akan saya sampaikan dan hadiah untuk kalian”.
Tanpa rasa curiga ketiga anak itu pergi bersama Empo Rua ke rumahnya di hutan. Sampai pada batas kebun dengan kawasan hutan, ayam jantan berkokok, “kakor o . . . . . o . . . . . o cai lé oné céwé mésé (cai lé = sampai disana, sampai di rumah, oné = di dalam, céwé = kuali, mésé = besar), artinya sampai di rumah kalian akan di masak pada kuali besar. Ayam jantan itu berkokok samapai lima kali hingga di depan rumah Empo Rua. Wéla Runu dan kedua orang temannya sudah mencurigai niat jahat Empo Rua sejak ayam jantan itu berkokok kedua kalinya. Mereka masing-masing memendamkannya, karena mereka tidak mungkin lari, mereka terjepit dengan kenyataan bahwa mereka telah berada dalam genggaman raksasa.
Sebelum masuk ke rumah, Empo Rua memanggil isterinya, “Jo, Jo, Jo, ini cucu-cucu kita yang molek dan ganteng”. Wulu Jo senang sekali mendapat ketiga cucu itu, lalu katanya, “cu, cu, masuklah, nenek telah menyiapkan kamar untuk kalian”. Ketiga anak itu berjalan di depan, Empo Rua mengikuti mereka masuk ke rumah. Wulu Jo menerima anak-anak itu dengan riang gembira dan akrab sekali. Tetapi ketiga anak itu telah mengetahui niat jahat suami-isteri itu.
Pada malam hari Wéla Runu dan teman wanitanya tidur sekamar, anak laki-laki dan ayam jantan tidur di kamar lain. Wéla Runu memperhatikan keadaan kamar dengan cermat. Lantai rumah terbuat dari bambu, demikian pula di kamar Wéla Runu serta bambu sudah lapuk. Wéla Runu memberitahukan kawannya dengan cara berbisik agar mereka berusaha lolos dari rumah itu, lari pada saat Empo Rua dan Wulu Jo tidur nyenyak. Kawannya menanyakan, “kak, kita keluar dari sini lewat mana?” Wéla Runu menjawab,”ikut kolong, kita bersama-sama membuat lubang pada lantai. Kita harus berusaha agar bambu lencar ini patah, tetapi hindarkan bunyi patahan yang bisa di dengar orang”. Setelah menimbang pembicaraan Wéla Runu, gadis yang seorang itu menjawab,”baiklah, kak, itu rencana yang baik”.
Merekapun mulai mematahkan bambu léncar itu perlahan-lahan. Pertama dan kedua bambu léncar dipatahkan belum menimbulkan kecurigaan pada anak laki-laki yang sekamar dengan ayam jantan itu.
Bunyi patahan ketiga anak laki-laki itu menanyakan, “apa yang kamu lakukan itu?” Wéla Runu menjawab,”tidak buat apa-apa, kami memukul pijat”. Anak laki-laki berkata lagi,”jika kalian tidak memberitahukan saya, perbuatan kalian akan saya laporkan kepada nenek Empo Rua dan Wulu Jo”. Wéla Runu memberitahu anak laki-laki itu melalui lubang celah dinding, “sebaiknya kita lari dari sini, kami sedang membuat lubang pada lantai, agar kita keluar melalui kolong. Beritahu ayam jantan itu untuk memata-matai Empo Rua dan Wulu Jo. Ia tolong beritahu kita, apakah keduanya telah tidur dengan nyenyak, sehingga kita dapat keluar satu-persatu dari sini”. Anak laki-laki itu berkata, “kawan, tolong beritahu kami apabila Empo Rua dan Wulu Jo telah tidur nyenyak, bantulah kami kawan”. Ayam jantan itu seolah-olah memberi jawaban kepada anak-anak itu, “kok”.
Tengah malam Wéla Runu dan kawan-kawannya menghancurkan cabe rawit sebanyak tiga tabung. Ayam jantan berkokok, “kakor . . . . . . o . . . . . o mereka telah tidur”. Ia memberitahu bahwa Empo Rua dan Wulu Jo telah tidur. Ketiga anak itu mulai bersiap-siap. Kira-kira pukul 02.00 ayam jantan itu berkokok lagi, “kakor . . . . .o . . . . . o keduanya telah nyenyak”. Wéla Runu melalui lubang di kolong dengan hati-hati sekali, lalu menanti kedua kawannya dalam semak beberapa meter dari rumah Empo Rua. Setelah itu berturut kawan wanitanya dan anak laki-laki itu. Ketiganya bergegas pergi dari tempat itu agar tidak kedapatan oleh Empo Rua.
Malam itu bulan terang benar karena tak ada kabut yang merintangi cahaya bulan menerangi bumi. Setelah jauh dari rumah Empo Rua, sampailah mereka pada tempat yang rata dan luas. Di tempat itu ada sebuah danau besar dan airnya jernih. Pada tepi danau itu terdapat sebuah pohon yang paling besar diantara pohon lainnya. Ketiga anak itu sepakat tidur sambil menanti fajar tiba untuk meelanjutkan perjalanan.
Wéla Runu mngusulkan tidur pada cabang batang pohon besar itu tetapi yang cukup tinggi dari tanah, agar tidak terjangkau oleh Empo Rua apabila ia telah mengetahui kalau mereka telah lari dari rumah. Empo Rua pasti mencari dan mengejar mereka. Ketiganya satu-persatu memanjat ke cabang yang terjauh dari tanah. Wéla Runu memberitahu kedua temannya untuk tidur, tetapi tetap waspada. Belum beberapa lama mereka tidur, kedengaran suara geram dan derap langkah yang hebat. Itulah Empo Rua yang mengejar dan mencari mereka. Anak-anak melihat dengan jelas bayang-bayang hitam besar dan tinggi menuju tempat itu. Empo Rua memepercepat langkahnya, dan rupa-rupanya ia telah mencium bau badan manusia. Sampai di danua itu Empo Rua berhenti, lalu berjalan ke kiri dan ke kanan dekat pohon besar tempat anak-anak itu bersembunyi. Pohon itu tidak terlalu rimbun daunnya sehingga cahaya bulan menerangi air danau dibawah pohon itu. Bayang-bayang ketiga anak itu kelihatan jelas di air danau. Empo Rua senang benar melihat mangsanya ada di air danau, karena itu ia menceburkan dirinya ke air sambil tangannya menangkap tetapi kosong sehingga ia sangat kecewa. Empo Rua lompat kembali ke darat dengan geram. Ia melihat kembali ke danau terlihat lagi dua anak wanita dan seorang anak laki-laki. Ia mencebur lagi sambil menangkap, juga kosong. Ia melakukan itu sampai lima kali, hasilnya sama saja. Empo Rua sungguh-sungguh kecewa dan marah. Ia marah dengan geram sambil mengumpat-umpat. Sementara ia marah karena kecewa, secara tidak sengaja ia menengadah ke atas pohon. Betapa girangnya Empo Rua melihat ke tiga anak itu di atas pohon. Ia menari-nari kesana ke mari, derap langkahnya begitu kuat sehingga tanah di tempat ia menari bagaikan diguncang gempa. Ketiga anak itu telah siap dengan tabung air lombok cabe rawit untuk disiram ke mata Empo Rua yang sedang membelalak. Empo Rua memanjat pohon itu, ia sungguh-sungguh bertekad menangkap ketiga anak itu dan dibawa kembali ke rumahnya.
Ketika Empo Rua hampir mendekati cabang yang di tempati anak-anak itu, mereka secara bersama-sama dan serentak menyirami mata Empo Rua dengan air lombok. Empo Rua kepedisan, ia menggosok-gosok matanya dengan tangan. Semakin ia menggosok matanya dengan tangan, pedis matanya semakin hebat. Empo Rua gemetaran kepedisan, lalu jatuh ke tanah. Ia meminta bantuan kepada ketiga anak itu, bagaimana cara menghilangkan kepedisan matanya itu. Kebetulan tak jauh dari tempat Empo rua ada batu yang ujungnya lancip dan tajam. Wéla Runu menjawab permintaan Empo Rua, “nek, cocokkan porosmu pada batu tajam itu agar pedis di matamu hilang”.
Tanpa memperhitungkan akibat dari saran Wéla Runu itu, Empo Rua mengambil ancang-ancang dan dengan kekuatan dahsyat ia mencocokkan kedudukannya dan poros ke batu tajam itu. Ia berteriak hebat dan sesudah itu tidak kedengaran apa-apa lagi, ia telah mati. Anak-anak melihat tubuh Empo Rua terbelah dari poros hingga ke lehernya. Mereka bergegas turun dan segera meninggalkan tempat itu, agar tidak kedapatan oleh Wulu Jo yang mungkin akan menyusul suaminya, setelah berjalan beberapa lama matahari mulai bersinar di ufuk timur. Mereka pergi ke kampung Wéla Runu. Beberapa jam kemudian mereka pun tiba di kampung Wéla Runu. Kedua orang tua dan seluruh keluarga Wéla Runu sangat gembira kepada anak mereka yang telah hilang selama lima hari telah kembali. Orang tua Wéla Runu menanyakan asal kedua kawannya itu. Mereka menjawab bahwa mereka berasal dari kampung masing-masing yang sangat jauh dari kampung itu. Merekapun diculik pada saat menjaga burung, babi hutan, kera serta binatang lain yang menyerang tanaman. Jalan ke kampung mereka tidak tahu karena dibawa oleh Empo Rua dalam hutan yang sangat lebat. Wéla Runu mengisahkan secara rinci usaha mereka meloloskan diri dari rumah Empo Rua. Selanjutnya kedua kawan Wéla Runu diangkat orang tuanya sebagai anak mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar