Daftar Blog Saya


LANUR DAN TIMUNG TÉ’É

0

LANUR DAN TIMUNG TÉ’É
Lanur adalah seorang pemuda yang gagah lagi ganteng. Pola sikap dan tingkah laku dan tutur kata pemuda Lanur sopan, sehingga ia mendapat pujian, dan simpati banyak orang. Pada sebuah kampung yang cukup jauh dari kampung Lanur, berdiam seorang gadis bernama Timung Té’é. Gadis itu juga disenangi semua orang karena pola sikap, tingkah laku dan tutur katanya sopan. Kecantikan Timung Té’é tersohor baik dalam kampungnya, maupun di kampung-kampung lain. Ia menjadi bahan pembicaraan para pemuda, dan banyak diantara pemuda itu yang melamarnya, tetapi tak satupun lamaran mereka diterima.

Suatu saat muncullah Lanur di kampung Timung Té’é, dan ia melamar Timung Té’é. Lamaran Lanur tak sia-sia, karena Timung Té’é menerima lamarannya,. Orang tua dan seluruh keluarga Timung Té’é sependapat dengan dia. Pemuda Lanur yang menjadi pilihan gadis Timung Té’é. Lanur dan Timung Té’é menikah dan hidup sebagai suami isteri. Karena mereka sama-sama cinta, keluarga itu rukun, tenang, damai dan saling mengasihi. Sudah setahun Lanur dan Timung Té’é hidup bersama dan membina keluarga, tiba-tiba suatu hari muncul suatu peristiwa yang menggegerkan warga kampung, bahkan menjalar ke kampung-kampung lainnya. Peristiwa itu akan membuyarkan kerukunan, kedamaian, ketenangan, dan saling kasih-mengasihi dalam keluarga Lanur. Peristiwa tersebut adalah ulah yang dilakukan seekor ular sawah terhadap Timung Té’é. Suatu pagi Timung Té’é pergi menimbah air di mata air yang terletak ditepi hutan lebat. Dalam hutan itu hidup berjenis-jenis binatang, termasuk ular sawah. Timung Té’é pergi sendirian ke mata air itu. Tiba di sana, Timung Té’é menimba air, dan setelah bambu air penuh, ia menyandarkannya pada batu. Timung Té’é sejak dari rumah sudah berniat mencuci rambut, tiba-tiba muncul seekor ular sawah yang besar membelit dia. Timung Té’é tak mampu berteriak meminta tolong, karena demikain eratnya belitan ular sawah itu. “Mengapa engkau membelit aku?” kata Timung Té’é, Ular sawah itu menjawab, “aku sangat mencintaimu“.
Timung Té’é heran karena ular sawah mencintai manusia. “Hentikan perbuatan gilamu itu, aku telah bersuami. Suamiku Lanur, orang kuat, disegani kawan maupun lawan”. Ular sawah itu dengan tenang menjawab, “biar dia orang kuat, berhadapan dengan aku, akan kubabat lehernya”. Mendengar jawaban ular sawah itu, Timung Té’é berkata dengan keras, “tidak, tidak, aku tak mau, lepaskan aku”. Ular sawah membalas, “ayo, Timung Té’é kita pergi ke rumahmu sekarang. Jika engkau tak mau, akan kuterkam agar kau mati”.
Karena ancaman itu Timung Té’é terpaksa berangkat ke rumah bersama ular itu. Dalam perjalanan menuju rumah, kepala ular sawah itu tergantung pada pundak Timung Té’é. Tiba di kampung, warga yang melihat Timung Té’é merasa heran bercampur takut. Mereka heran karena baru pernah terjadi ular sawah bergantung pada pundak manusia, dan mereka takut, Timung Té’é dibelit. Lanur dan seluruh keluarga sangat marah melihat kejadian itu. Lanur mengambil parang memancung ular sawah itu, tetapi tidak termakan, tergores sedikitpun tidak. Lanur mengambil tombak menikam ular itu, juga tidak mempan. Ular sawah itu berkata , “hai Lanur, senjata apapun yang kau gunakan tidak akan menembusi kulitku. Lanur, inilah lalong kebal“. Ibu Timung Té’é berkata dengan geram, “aku tak sudi anakku bersuamikan ular, enyalah kau, hai ular keparat“. Ular sawah itu membalas, “jikalau kamu tidak memberikan Timung Té’é menjadi istriku, rumahnu akan kubalikan tiang-tiangnya ke langit dan atapnya ke tanah“. Penghuni rumah berteriak,”kami tak mau menjalin hubungan dengan kau“. Ular sawah itu marah, lalu mengangkat rumah itu, tiang-tiangnya ke langit dan atapnya ke tanah. Orang-orang itu meminta ampun, mereka menyatakan kesediaan menerima ular sawah itu sebagai suami Timung Té’é. Ular sawah itu membalikan rumah itu dan mendirikannya seperti semula. Mereka mempersilahkan ular sawah itu masuk ke rumah, ia di beri bantal sebagai tempat duduk. Ular itu melingkar pada bantal dan kepalanya tetap tergantung pada Timung Té’é.
Lanur sangat marah dan sakit hati atas kejadian itu. Ia bersedih menyaksikan penderitaan isterinya, tetapi tidak berputus asa, ia berusaha sekuat tenaga untuk membebaskan Timung Té’é. Lanur meminta bantuan orang-orang sekampungnya dan orang-orang dari kampung lain untuk membunuh ular itu. Orang-orang itu memakai parang dan tombak untuk membunuh ular itu, tetapi tidak berhasil. Sambil menyeringai ular itu berkata “apakah kalian tidak mengenal Lalong kebal? Inilah Lalong Kebal tak termakan oleh parang dan tombak. Kumpulkan jago-jago di seluruh daerah ini berhadapan dengan Lalong Kebal”.
Lanur berusaha membebaskan isterinya, ia pergi ke padaang untuk meminta bantuan bintang-bnatang yang hidup di sana. Ia memanggil binatang-binatang itu, dan yang melamar serta menyatakan kesanggupannya adalah Kerbau, Kuda, Babi Landak dan Kumbang. Keempat binatang itu meminta hadiah apabila mereka berhasil. Hadiah-hadiah yang diminta oleh keempat binatang itu adalah masing-masing satu sokal garam untuk Kerbau dan Kuda, satu keranjang ubi jalar mentah untuk Babi Landak serta satu palung cirit manusia untuk Kumbang. Lanur menyanggupi hadah sesuai kegemaran masing-masing. Hadiah yang ditawari Lanur disetujui keempat binatang itu. Karena itu Lanur meminta agar kemampuan mereka di uji coba terlebih dahulu. Lanur memberi kesempatan kepada mereka masing-masing, “Mkaba (pak Kerbau) tunjukkan caramu!” Kerbau memperagakan menanduk sambil menari-nari. “Wajo Mjarang (ayo, pak Kuda), tunjukkan caramu!” sambil menari-nari Kuda memperagakan cara menendang dan menggigit. “Wajo Mrutung, co’o Ditén (ayo, pak Landak, bagaimana caramu?” sambil menari-nari dan buntutnya berbunyi jit, jit, jit, jit……………, Babi Landak memperagakan caranya. Kumbang memperagakan cara terbang sambil mengeluarkan suara bagaikan bunyi pesawat terbang. Lanur memuji sambil tertawa riang cara binatang-bintang itu. Kemudian Lanur berunding dengan mereka tentang pelaksanaan kegiatan keesokkannya dan Lanur menjemput keempat binatang itu di pa’ang (pintu masuk kampung).
Setelah itu Lanur pamit dengan keempat binatang itu. Tiba di kampung, Lanur langsung menghadap pemimpin kampung. Ia mengutarakan hasil kesepakatannya dengan keempat bintang itu serta meminta keterlibatan seluruh warga kampung dalam kegiatan tersebut. Tokoh-tokoh dan orang tua-tua turut menjemput dan mengikuti perarakan dari pa’ang ke compang (bangunan batu berundak-undak pada pusat kampung). Ibu-ibu, para gadis dan pemuda serta anak-anak berkumpul di halaman disekeliling compang. Pemimpin kampung menerima permintaan Lanur, lalu tokoh-tokoh kampung seta tu’a pa’nga-tu’a pa’nga (pemimpin-pemimpin subklan) diundang untuk bermusyawarah tentang persiapan dan pelaksanaan kegiatan besoknya sesuai permintaan Lanur. Musyawarah sepakat agar kegiatan tersebut dilaksanakan seolah-olah dalam suasana pesta yang dilengkapi permainan caci. Kedatangan keempat binatang itu yang dijemput di pa’ang, seolah-olah méka landang (tamu pemain caci). Lalu dari pa’ang para peserta menyanyikan lagu-lagu yang berhubungan dengan caci menuju ke compang. Mereka sepakati pula sebelum matahari muncul diufuk timur, menanti kedatangan keempat binatang tersebut. Sebelum matahari terbit para tokoh-tokoh dan orang tua-tua telah berkumpul di pa’ang bersama Lanur. Pada saat matahari muncul diufuk timur Kerbau, Kuda, Babi Landak dan Kumbang datang. Keempat bintang itu bergabung dengan warga kampung. Rombongan melakukan arak-arakan menuju compang, warga kampung menyanyi, Kerbau menguak, Kuda meringkik, buntu Babi Landak berbunyi jit, jit, jit, jit….serta Kumbang mendengung bagaikan bunyi pesawat terbang.
Hingar-bingar pagi itu mengejutkan Ular Sawah, karena itu ia menanyakan Timung Té’é, “ada apa sebenarnya di halaman, suara riuh dan lagu-lagu yang dinyanyikan orang-orang itu?” ia ingin sekali menyaksikan keramaian tersebut. Ia mengajak Timung Té’é, “ayo , kita keluar untuk menonton keramaian itu, engkau di depan. Bergegaslah kita ke sana”. Timung Té’é bangun dan berjalan ke luar rumah, tetapi kepala Ular Sawah tetap bergantung di pundaknya. Tiba di halaman mereka melihat keramaian di sekitar wilayah compang. Ada orang menyanyi, Kerbau menguak, Kuda meringkik, Babi Landak menari dan Kumbang terbang dengan santai. Ular Sawah menyuruh Timung Té’é mengambil tempat di dekat compang di bawah naungan pohon beringin.
Sementara Ular Sawah menonton, Kerbau menanduk, tetapi Ular Sawah itu tidak beringsut sedikitpun. Ular itu berkata “tak pernahkah kamu mendengar kekuatan, kemampuan serta kesaktian Lalong Kebal? Sejak dahulu Lalong Kebal tak gentar sedikitpun melawan gertak sambal lawan. Jago-jago telah berhadapan denganku, tetapi aku tak terkalahkan”. Lanur mulai merasa kuatir, Kuda maju menendang dan menggigit, juga tak berhasil. Lanur bertambah takut serta kuatir akan keselamatan isterinya. Para tokoh dan orang tua-tua merasa cemas. Babi Landak menari-nari sambil buntutnya berbunyi, jit, jit, jit, jit…. tarian Babi Landak sangat menarik dan para penonton terpukau, termasuk Ular Sawah itu. Penonton hura-hura, Babi Landak menari semakin menarik, sehingga Ular Sawah itu menonton dengan konsentrasi tinggi. Demikian tertariknya tarian Babi Landak, dan begitu tingginya konsentrasi Ular Sawah menyebabkan kedua biji matanya menjulur keluar. Kumbang terbang pada tempat yang ditempati Ular Sawah dan secepat kilat ia mencopot kedua biji mata Ular Sawah itu serta ia terus terbang ke udara sambil mendengung bagaikan bunyi pesawat terbang.
Mata Ular Sawah perih dan tak dapat melihat, ia menjadi buta. Ular Sawah itu berteriak, “MRangang, MRangang (pak kumbang, pak Kumbang) kembalikan biji mataku. Andong-andong, andong. . . ., kali pandé woréng data so’o (aduh, aduh, aduh. . . ., pada hal perbuatan orang-orang ini memperdayakan aku). Aku bebaskan Timung Té’é, asal biji mataku dikembalikan”. Kumbang tidak menghiraukan Ular Sawah yang terus berteriak memanggilnya, ia terbang semakin tinggi. Timung Té’é menggunakan kesempatan itu untuk membebaskan diri, lalu lari ke rumahnya.
Lanur serta warga kampung mengikat Ular Sawah itu pada pokok pohon beringin. Mereka mengambil kayu dan ranting-ranting kering menimbuni ular itu, setelah itu mereka menyulutkan api. Api menyala dan ular itu tak mampu membebaskan diri, bergerak sedikitpun tidak. Kumbang turun dari langit dan membuang kedua biji mata ular itu kedalam bara api. Setelah itu turun ke tanah bergabung dengan ketiga kawannya. Akhirnya Ular Sawah itu menjadi abu.
Seluruh penonton bersorak-sorai sambil memuji Babi Landak dan Kumbang. Pemimpin kampung meminta seluruh warga tenang agar acara penyerahan hadiah kepada keempat binatang itu segera dilaksanakan. Penyerahan hadiah dilakukan pada tempat yang cukup jauh dari rumah, agar bau cirit untuk kumbang tidak mengganggu penciuman para pesrta. Kerbau, Kuda, Babi Landak dan Kumbang segera melahap hadiah masing-masing setelah diserahkan secara resmi oleh pemimpin kampung. Setelah keempat binatang itu selesai makan, mereka dihantar ke pa’ang untuk dilepaskan secara resmi. Setelah acara melepaskan binatang itu selesai, seluruh warga berkumpul di rumah Lanur untuk mengikuti upacara mengucapkan syukur atas bebas dan luputnya Timung Té’é dari bahaya. Mereka bergembira sepanjang malam, seluruh keluarga lega karena maut telah berlalu.
Keluarga Lanur hidup aman, gangguan Ular Sawah tidak terjadi lagi. Timung Té’é pergi menimba air dan mandi seperti ibu-ibu dan gadis-gadis sekampungnya. Ia tidak kuatir dan takut terhadap Ular Sawah, gangguanpun tidak ada lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar